Monday, May 11, 2009

Pemilu 2009 : PKS

Artikel ini beberapa waktu lalu di post sama salah satu temen gw di Wesleyan di milis Indonesianist (milis pelajar Indonesia/pemerhati Indonesia di US). Cukup menarik untuk di bahas, konteks nya cukup luas; bukan hanya masalah partai islam di Indonesia, tapi juga masalah pemerintahan, hukum, dan konstitusi di Indonesia.

Mengapa Takut pada PKS?
Jika ada kelompok yang takut atau memusuhi Partai Islam, maka perlu diselidiki apakah mereka memiliki komitmen yang sama untuk membasmi korupsi, kemiskinan dan pengangguran? Membatasi, apalagi mengisolasi Partai Islam, hanya akan menambah panjang persoalan yang berkecamuk di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia.
--------------

Sebuah acara talk show di stasiun televisi berlangsung seru pasca Pemilu yang baru berlalu di Indonesia. Para pembicara berasal dari partai-partai besar peraih suara terbanyak: Anas Urbaningrum dari Partai Demokrat yang tampil sebagai pemenang pemilu, Sumarsono (Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya yang sempat shock karena tergeser ke ranking kedua), dan Tjahjo Kumolo (Ketua Fraksi PDI Perjuangan yang menempuh jalan oposisi). Narasumber keempat adalah seorang anak muda, doktor bidang teknik industry lulusan Graduate School of Knowledge Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Mohammad Sohibul Iman, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Usai debat panas, Kumolo mendekati Iman dan berbisik: “Mas, bagaimana sikap teman-teman PKS terhadap PDIP? Posisi Hidayat Nur Wahid cukup berpengaruh di kalangan PDIP, dia menempati ranking kedua untuk mendampingi Ibu Mega.” Perbincangan intim itu tak pernah dilansir media manapun, meski publik mencatat Hidayat pernah diundang khusus dalam acara rapat kerja yang dihadiri pengurus dan kader PDIP se-Indonesia. Dua pekan setelah Pemilu, DPD PDIP Sulawesi Utara, yang berpenduduk mayoritas non-Muslim masih mengusulkan lima calon wakil presiden yang layak mendampingi Mega, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono, Prabowo Subianto, Akbar Tanjung, Hidayat Nur Wahid dan Surya Paloh (Republika, 21/4). Itu bukti kedekatan partai nasionalis sekuler dengan Islam, lalu mengapa selepas pemilu yang aman dan lancar, tersebar rumor sistematik bahwa partai Islam radikal (PKS) menjadi ancaman keutuhan nasional Indonesia?
Partai Demokrat dan PKS sekali lagi membuat kejutan. Dalam Pemilu 2004, partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina itu, hanya menempati urutan kelima dengan perolehan suara 7,5%. Sekarang mereka menempati tempat teratas dengan raihan suara lebih dari 20,6% menurut perhitungan suara sementara. Sementara PKS yang menempati ranking keenam pada Pemilu 2004 dengan suara 7,3% memang tak bertambah secara drastis, diperkirakan hanya meraih 8,2% suara, menurut tabulasi sementara Komisi Pemilihan Umum. Tapi, PKS dengan posisi keempat dalam pentas nasional menjadi Partai Islam terbesar di Indonesia. Inilah yang menjadi sumber kontroversi bagi sebagian pengamat Barat.
Bila kemenangan Partai Demokrat disambut meriah oleh media Barat, sehingga majalah Time berencana untuk memasukkan sosok SBY sebagai satu di antara 100 tokoh berpengaruh di dunia, maka kemunculan PKS dinilai negatif oleh penulis semisal Sadanand Dhume. Dalam Wall Street Journal Asia (15/4), Dhume menyatakan: “The most dramatic example of political Islam’s diminished appeal is the tepid performance of the Prosperous Justice Party (PKS), Indonesia’s version of the Muslim Brotherhood. PKS seeks to order society and the state according to the medieval precepts enshrined in shariah law.” Pandangan serupa diungkapkan Sara Webb dan Sunanda Creagh yang mengutip kekhawatiran pengusaha keturunan Cina, Sofjan Wanandi dan pengamat beraliran Muslim liberal, Muhammad Guntur Romli (Reuters, 26/4).
Wanandi, pengusaha sekaligus pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), berkata terus terang: “The possibility that SBY will join with PKS makes us nervous. There is a lot of uncertainity around this. We don’t know if we can believe them.” Sedangkan, Romli menegaskan: “PKS have a conservative ideology but are portraying themselves as open and moderate because they are also pragmatic.” Kesangsian Wanandi dan Romli justru menimbulkan pertanyaan, karena mereka mungkin sudah membaca Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan yang dikeluarkan PKS setahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Buku setebal 650 halaman itu menjelaskan segala langkah yang sudah, sedang dan akan dilakukan PKS untuk mewujudkan masyarakat madani yang maju dan sejahtera di Indonesia. Tak ada sedikitpun disebut ide Negara teokratis atau diskriminasi terhadap kaum minoritas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyediakan waktu khusus untuk menyimak platform PKS setebal 4,5 centimeter itu dan berkomentar, “Isinya cukup komprehensif seperti Garis-garis Besar Haluan Negara atau Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang disusun pemerintah meliputi seluruh aspek kehidupan Negara modern.” Prof. Jimly Ashiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menilai inisiatif PKS merupakan tradisi baru dalam dunia politik agar setiap partai menjelaskan agendanya ke hadapan publik secara transparan dan bertanggung-jawab. Sementara Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri, memberikan apresiasi khusus karena PKS berani melakukan obyektivikasi terhadap nilai-nilai Islam dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Siapa yang harus kita percaya saat ini, pengusaha dan pengamat yang gelisah karena kepentingan pribadinya mungkin terhambat atau menteri dan pakar yang menginginkan perbaikan dalam kualitas pemerintahan di masa datang?
Kehadiran partai Islam memang kerap memancing perhatian, tak hanya di Indonesia. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki yang secara harfiyah menyebut diri berideologi sekuler ternyata masih dicap sebagai kelanjutan dari partai fundamentalis Islam. Gerakan Hamas yang secara patriotik membuktikan diri berjuang sepenuhnya untuk kemerdekaaan nasional Palestina disalahpersepsikan sebagai ancaman perdamaian dunia. Perhatian publik semakin kritis setelah partai Islam berhasil memenangkan pemilu yang demokratis, dan berpeluang menjalankan pemerintahan. Stereotipe buruk kemudian disebarkan untuk menggambarkan partai Islam seperti virus flu yang berbahaya, dengan merujuk pengalaman di Aljazair, Sudan atau Pakistan.
Tapi, semua insinuasi itu tak berlaku di Indonesia karena partai Islam dan organisasi sosial-politik Islam yang lebih luas telah berurat-akar dalam sejarah dan memberi kontribusi kongkrit dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hanya orang bodoh yang tak tahu bahwa: organisasi modern yang pertama lahir di Indonesia adalah Serikat Dagang Islam (1905), partai politik yang pertama berdiri dan bersikap nonkooperasi terhadap penjajah Belanda adalah Syarikat Islam (1911), organisasi pemuda yang mendorong pertemuan lintas etnik dan daerah ialah Jong Islamienten Bond hingga terselenggaranya Sumpah Pemuda (1928), mayoritas perumus konstitusi dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (1945) adalah tokoh Islam, dan penyelamat Negara kesatuan Indonesia dari ancaman komunisme (1966) adalah organisasi pemuda dan mahasiswa Muslim nasionalis. Kekuatan Islam juga sangat berperan dalam mengusung gerakan reformasi di tahun 1998, tanpa meremehkan peran kelompok
agama/ideologi lain.
Tak ada yang perlu ditakuti dari kiprah Partai Islam di masa lalu dan masa akan datang, termasuk dalam membentuk pemerintahan baru di Indonesia. Partai Islam memiliki agenda yang jelas untuk memberantas korupsi melalui reformasi birokrasi, meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menekan angka kemiskinan dan pengangguran, sehingga semangat “jihad” yang sering disalahtafsirkan itu, dalam konteks Indonesia modern bisa bermakna: perang melawan korupsi, kemiskinan dan pengangguran. Jika ada kelompok yang takut atau memusuhi Partai Islam, maka perlu diselidiki apakah mereka memiliki komitmen yang sama untuk membasmi korupsi, kemiskinan dan pengangguran? Membatasi, apalagi mengisolasi Partai Islam, hanya akan menambah panjang persoalan yang berkecamuk di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia.
Partai Islam tak hanya mampu meraih dukungan yang cukup luas dalam pemilu, bahkan tokoh-tokohnya yang berusia relatif muda mulai mendapat kepercayaan pemilih. Exit poll yang digelar Lembaga Pengkajian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tanggal 9 April menunjukkan bahwa pasangan Yudhoyono-Hidayat meraih suara 20,8 persen, mengungguli Yudhoyono-Jusuf Kalla yang meraih 16,3 persen, dan Yudhoyono-Akbar Tandjung yang hanya memperoleh 5,4 persen dukungan responden. Jika fakta elektabilitas yang tinggi ini masih diingkari, maka kecurigaan terhadap Partai Islam sungguh tak berdasar dan melawan kehendak rakyat yang menjadi inti demokrasi.

*) Center for Indonesian Reform (CIR), Gedung PP Plaza Lantai 3, Jalan TB Simatupang No. 57, Jakarta Timur Email: sapto.waluyo@gmail.com


Pendapat gw di milis itu :
Halo rekan-rekan Indonesianist,

Saya hanya ingin komentar singkat saja. Ini posting pertama saya di milis ini, sebenarnya agak ragu juga untuk berkomentar tentang posting dari Jourdan, karena sebenarnya masalah ini menarik dan luas cakupannya tapi sayang kok ketika saya baca komentar-komentar berikutnya malah jadi perdebatan antara agama Islam dan Kristen.

Andaikan kita telaah secara global, topik pembicaraan mengenai partai PKS sesungguhnya bukan hanya menyangkut itu sebuah partai Islam atau tidak, atau itu masalah hukum syariah islam atau hukum agama lainnya. Namun persoalannya apakah kita - bangsa Indonesia yang majemuk - sepatutnya menyangkut pautkan agama dalam urusan politik. Banyak yang berpersepsi bahwa Indonesia adalah negara yang sekuler. Saya separuhnya setuju dengan pendapat ini. Mengapa hanya separuh? Menurut saya Indonesia boleh dibilang negara Pseudo-Sekular. Di beberapa pasal konstitusi mencerminkan sekularisme republik ini, seperti "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Namun di pasal lain, "Ketuhanan yang Maha Esa", mencerminkan dominasi agama monoteis. Pseudo-sekularisme di Indonesia pun tercermin dalam beberapa hal lain, misalnya hanya lima agama yang diakui di Indonesia secara resmi, dan keharusan warga negara untuk mencantumkan agamanya di KTP. Bagaimana dengan warga Indonesia dengan agama yang tidak diakui secara resmi? Bagaimana dengan warga negara Indonesia yang tidak mempunyai pandanga agama, atheis atau agnostik misalnya? Apakah mereka mendapat keadilan sosial yang sama dengan warga negara lainnya?

Masalah ruang lingkup agama dan politik membuat saya tertarik setelah mengamati kawan-kawan pelajar saya di Amerika. Latar belakang pendidikan Islam saya membuat saya semakin tertarik dengan masalah ini. Satu hal yang saya amati dari pelajar di Amerika adalah agama merupakan aspek personal dari diri mereka. Saya malah menemukan kawan" muslim saya di Amerika sebagai satu dari beberapa Muslim ter-taat yang saya pernah temui. Agama lebih merupakan aspek spiritual; walau tentunya banyak aspek sosial tertanam di dalamnya. Oleh karena itu, saya lebih waswas untuk mencampurkan agama dengan politik, apalagi di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk (mayoritas Islam nya saja sendiri pun majemuk), jikalau kita ingin mengedepankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Implikasi sekularisme pun jika dibahas secara mendetail tentunya sangat panjang karena mencakup berbagai dimensi; misalkan pendidikan (seperti pengajaran agama di sekolah, atau teori penciptaan alam semesta), atau masalah sosial (aborsi, pendidikan sex). Namun satu hal yang penting adalah dengan tidak mencampurkan agama manapun dalam poltik, kita dapat lebih mudah mencapai tujuan kesejahteraan bersama dengan mengedepankan kebijakan-kebijakan yang rasional yang dapat di aplikasikan ke seluruh lapisan masyarakat.

Lalu mengapa takut pada PKS? Jujur, kalau pemilu kemarin saya bisa ikutan memilih (baca : korban birokrasi), mungkin PKS jadi salah satu partai yang saya pertimbangkan untuk dipilih. Visinya jelas, transparan, dan paling menjanjikan untuk memberantas korupsi yang notabene borok terparah Indonesia. Namun sayangnya Indonesia bukanlah negara Islam. Dan tidak 100% warga Indonesia beragama Islam. Banyak dari hukum syariah yang sangat relevan untuk di terapkan dalam zaman modern ini (misalkan perbankan syariah yang lebih aman dari Kapitalisme Bebas yang rentan akan krisis), dan saya setuju" saja jika ada elemen syariah yang bisa diterapkan ke seluruh bangsa Indonesia, namun dengan catatan harus tidak membawa nama satu agama atau mendiskreditkan kaum minoritas. Jikalau PKS bisa memisahkan antara elemen agama dan kebijakan politik, boleh lah pemilu berikutnya saya coblos.

Sedikit tentang pandangan Barat tentang Islam dan Partai Islam, haruslah kita bisa membedakan antara kebijakan pemerintah (misalkan pemerintah Amerika Serikat) dan pandangan masyarakatnya. Dengan menggunakan kata "Barat" untuk menggambarkan intimidasi terhadap Islam saja kita sudah men-generalisasikan mereka. Banyak di antara warga negara" barat, berdasarkan pengalaman kuliah di amerika, yang sangat terbuka fikirannya dan supportive terhadap Islam. Marilah sesama kaum akademis kita turut ber-pandangan terbuka satu sama lain dan mulai melihat perbedaan sebagai satu aset untuk membangun ke arah yang lebih baik.

Ditunggu komentar dan pandangan rekan-rekan.


Vienna



Vienna was a beautiful and well preserved old town. The 18-19 Century buildings in the city center was very clean and well maintained. We unfortunately only stayed there for one night, and was not able to fully explore this charming capital of Austria. From my brief observation, Vienna seemed to have a chill, layback - hanging out in café sort of atmosphere. It is somehow more cheerful/less depressing than most of German cities I've visited before. Yes there was a lot of tour groups, but not as overwhelming as it was in Prague.

We stayed in Hostel Ruthensteiner (highly recommended - also recommended by Lonely Planet) was amazingly clean and lively. It is conveniently located between downtown and Schloss Schönnbrunn. We spent our only day in Vienna basically just strolling down the city, since the major sights are in walking distance. We started by walking by the Altes Rathaus (old town hall), then making our way through the Museum Complex and then Hofburg. Hofburg was one of the highlight of Vienna. Unfortunately due to renovation of the Sissi museum, we didn't go inside the Kaizerapartment museum, a house where Emperor Franz Josef I and Empress Elisabeth (Sissi) used to live. Next to the Hofburg was the State Library. Not only this library has a massive collection of books, but all of them was organized neatly and look like one of those old-school libary that you'd see in movies. I wonder if I will ever read enough books in my life to make a library like this (well maybe a little smaller). After Hofburg, we went strolling down the Naschmarkt. This was so far the best street food market I have ever seen in Europe. Not only because of the eclectic kinds of food you can find there, but also the high quality of the food there. They have all sort of cheese store, bakery, and spice stores there. This is exactly the place where I want to buy the ingredients when I am cooking. I want to live in a city with this kind of market, where I can just ride my bike in the morning to buy my grocery, fresh from the vendor.

We had lunch at Schnitzel Wirthaus and had an authentic (and gigantic) Wiener Schnitzel. Seriously that thing was gigantic. If you thing that American portion is big, this Schnitzel will change your mind. I had a viennese Knödel and local viennese Beer with my Schnitzel. Knödel is a traditional german/czech/viennese dish made from flour, and look like a giant tennis ball.
After lunch we headed to the Zentralfriedhof (Central Graveyard) where we found tombstones of Mozart, Strauss, Brahms, and Beethoven.

An afternoon in an 18-Century decorated viennese Café completed the whole viennese experience in this town of the Habsburgs.

Praha part two

On the second day in Prague, we went right away to the Prague Castle (Pražský hrad) in the morning to avoid mobs of tour groups. Located on top of the hill, finding this medieval castle was a piece of cake, thanks also to the helpful roadsigns on the way there.


I did an audio tour in the castle, which turned out to be a pretty sweet deal since you can cut the very long line at the cathedral (yes it really is true you can just go through a special door without queuing for hours). Some of the most interesting features of the Castle are the Golden Lane and the Cathedral Basilica St.Vitus. The Golden Lane was a long stretch of road with cute small old (13-14 Century) houses. Franz Kafka used to live and write in one of these houses. Basilica St.Vitus was probably one of the most beautiful cathedral I have ever seen (as a non-Catholic I probably have visited more cathedral than most Catholics ever do in their life). The Gothic architecture with all the magnificent statues really amazed me. There I also learned a lot about the Bohemian Kingdom, such as St.Wenceslas' history.


Later that day we walked around the old town. The buildings were really pretty but everywhere there were just tour groups which annoyed me a little bit. We then ate dinner at a really cute, delicious, and very local vegetarian restaurant. There I was very surprised to find a dish made from Tempe, a soy-based food native to the Indonesians - I couldn't help to say this to the waitress there. Tempe in Indonesia is a very basic, and staple of Indonesian diet; a thing that every household can afford, no matter how poor you are. Sadly Tempe in Indonesia has been considered as the food for the poorer people, in contrary to its praised by the western people as a protein substitute. Anyway let's go back to our beautiful Prague. On that day we also happened to find Prague's Easter Market. There they sold all sort of Czech's traditional food such as Bread Rolls, Crepé, Potato Cakes, and all sorts of meat dishes. The market was also beautifully decorated with Easter decorations.

Prague at night is probably the most beautiful scene I have ever seen. Just standing next to Charles Bridge staring at the magnificent Prague Castle on the background, illuminated by the lights from the buildings one can get the romantic, mysterious, warm, yet dark sense of this city.

Praha part one














This is the second day of my spring break Eurotrip. Yesterday me, anya, and heather arrived in Prague around noon by train from regensburg. Arriving from Regensburg. Arriving from the suburbs of Prague, it didn't look as charming as I thought it would be (will soon proven to be wrong). It actually reminds me of some parts of Moscow in terms of the communist style architecture blending with old classique style architecture, and the people's social condition. After checking in to our hostel and have lunch at a chinese restaurant (in which we quickly got a sense how prague is much cheaper than Germany, e.g our lunch cost 4 euro), we went to the communist museum which was conveniently/ironically tucked right above Prague's largest McDonalds. There I saw more than dozens of Lenin & Marx statues, and learn about the brutal era of communism in Prague. The most interesting part I have to say is about the Velvet Revolution, how it started and how it was peacefully executed. I also met a really interesting roommate in the hostel. He's probably in his 50's and have been on the road for so long. He's from Holland and we talked a lot about the relations (read : colonisation) between Holland and Indonesia.

Eurotrip Spring 2009

This post about my Eurotrip is long overdue, but yet I still feel like it's interesting to post.

At the end of March/early April I did a very interesting Europe trip using a Eurail pass. I bought the Eurail Select Pass which allows me to take 8 trains in 2 months between four chosen adjacent countries. After some considerations I choosed Czech Rep., Austria, Italy, and France as my destinations. I was travelling through Czech and Austria with Anya and Heather, by myself in Italy (and meeting friends in some cities), then staying with Charlotte in Paris.

Though this trip is less adventurous as my previous ones (e.g Trans Siberia), this is my first solo-trip. As I'd explain later, I was surprised of how interesting and convenient it is to travel by yourself, not to mention the better chance of meeting interesting people on the way. Other than the scenic and historic Europe, the strongest memory that I'd remember about this trip is meeting very interesting travellers on the way. This whole trip was also sort of a European history crash course to me. What's even more interesting is that it seems like I am completing a piece of history puzzle, having taught mostly Islamic and Asian point of view History, such as the holy wars, middle ages, and the renaissance for example.